Minggu, 16 November 2008

Wayang Wong

wayang_wong

Wayang wong adalah salah satu jenis teater tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Lakon yang dipentaskan disini bersumber pada ceritera-ceritera wayang purwa. Jenis kesenian ini pada mulanya berkembang terutama di lingkungan kraton dan kalangan para priyayi (bangsawan) Jawa.
1. Sekelumit Sejarah Kesenian "Wayang Orang".
Menurut dinas pariwisata Kotamadya Dati II Surakarta, wayang orang lahir pada abad XVIII. Penciptanya adalah Mangkunegara I yang mungkin diilhami oleh seni drama yang telah berkembang di Eropa. Mula-mula wayang orang dipertunjukkan di Surakarta. Akan tetapi karena tidak bertahan lama, pertunjukan wayang orang tersebut pindah ke Yogyakarta. Pada bulan April 1868, yakni sewaktu Mangkunegara IV mengadakan khitanan putranya yang bemama Prangwadana dan Mangkunegara V didatangkan petikan wayang orang dari Yogyakarta. Sejak saat itu wayang orang kembali hidup di Surakarta. Selanjutnya oleh Mangkunegara IV dan V wayang orang itu disempumakan, terutama dalam hal pakaian dan perlengkapannya.
Pada tahun 1899 Pakubuwana X membangun taman Sriwedari. Dalam peresmiannya diadakan berbagai pertunjukan kesenian. Salah satu bentuk kesenian yang dipertunjukkan pada waktu itu adalah wayang orang. Dan saat itulah wayang orang selalu mengisi acara di taman Sriwedari yang merupakan taman Kasunanan itu.
Pada mulanya wayang orang merupakan bentuk seni tradisional Jawa yang eksklusif, dipentaskan hanya di lingkungan kraton.
Pada tahun 1902 muncul wayang orang yang hidup dengan dasar komersial, dengan penjualan karcis. Pengelola wayang orang yang kemudian ini adalah seorang Cina Wayang orang komersial yang disajikan ke luar batas kraton ini berkembang dan mencapai puncaknya ketika muncul perkumpulan "Ngesti Pandowo" di bawah pimpinan Sastrosabdo.
Wayang Orang Sriwedari sendiri pada gilirannya mengikuti pola komersial pula, yakni dengan menjual karcis pada masyarakat umum yang ingin menonton. Kesenian wayang orang adalah perkembangan lebih lanjut dari wayang kulit. Oleh karena itu struktur pertunjukannya serupa. Perbedaanya terutama terletak hanya pada pemainya. Kalau wayang kulit menampilkan boneka, wayang orang menampilkan manusia sebagai wayang. Pertunjukan wavang orang dibuka dengan jejer yang biasanya didahului oleh dialog umum.
Selanjutnya baru ditampilkan cerita dan dialog yang berhubungan dengan persoalan pokok. Kemudian ditampilkan adegan perang kembang, yakni perang antara ksatria dengan para raksasa yang mencegat di hutan ketika ksatria sedang melakukan perjalanan melaksanakan tugasnya.
Sebelum perang, baik perang kembang maupun perang utama, biasanya ditampilkan adegan goro-goro yang berisi lawak dari punakawan.
Dalam pertunjukan wayang orang terdapat unsur yang menjadi perhatian penting, yakni ontowacono atau idiolek tokoh. Setiap tokoh mempunyai idioleknya sendiri yang khas, yang sekaligus mencerminkan wataknya masing masing.
Kostum para tokoh merupakan unsur lain yang dianggap tidak kalah pentingnya dari persoalan ontowacono di atas. Wayang orang mempunyai standard yang ketat mengenai kostum ini, sebab kostum mempunyai makna simbolis. Oleh karena makna simbolisnya pula, maka persoalan bentuk tubuh dan peri laku tokohpun menjadi amat penting.
Lakon yang tersedia dibedakan menjadi dua macam, yakni lakon pakem dan lakon carangan. Lakon pakem adalah lakon berupa ceritera Mahabharata dan Ramayana. Lakon carangan (karangan/fantasi) adalah lakon karangan baru yang dikaitkan dengan lakon pakem itu. Wayang orang Sriwedari biasanya mementaskan lakon pakem dan berusaha memenuhi pakem pertunjukan wayang secara ketat.
Urutan adegan yang ditampilkan tepat seperti yang ditentukan. Ontowacono mereka dapat dikatakan amat baik dan tepat.
Kostum mereka sesuai dengan standard dan digunakan dengan rapi. Tatarias mereka juga amat rapi dan sesuai dengan tuntutan pakem.
Permainan mereka yang serius didukung oleh kesempurnaan peralatan teknis yang cukup lengkap dan baik. W.O. Sriwedari menggunakan 12 spotlight yang masing-masing berkekuatan 500 watt, 50 footlight, dan beberapa buah borderlight.
Mereka mempunyai banyak dekor yang dapat menghadirkan keadaan istana, hutan, tengah jalan, padepokan, taman pasewakan, arena perkelahian dan keputren. Selain itu, tata akustik gedung Sriwedari juga baik.
Meskipun pertunjukan W.O. Sriwedari dapat dikatakan memenuhi tuntutan pakem, pada waktu-waktu tertentu sutradara dan para pemain sering tergoda untuk melakukan beberapa penyimpangan. Mereka kadang-kadang berusaha menampilkan adegan humor dengan porsi yang lebih banyak daripada biasanya, walaupun kadang-kadang hal ini terasa mengganggu alur ceritera.
Di lain waktu pkumpulan tersebut juga menampilkan humor pada adegan atau melalui tokoh yang serius. Penyimpangan yang secara resmi mereka lakukan adalah pemadatan pertunjukan. Kalau dahulu setiap malam mereka berpentas sekitar empat setengah jam, kini hanya dua setengah jam. Pertunjukan yang agak panjang hanya dilakukan pada malam minggu.
Wayang orang mengalami kejayaannya pada tahun 1950-1965. Pada tahun tahun itu pertunjukan wayang orang selalu mengalami sukses. Gedung-gedung pertunjukannya penuh dengan penonton. Oleh karena kesuksesan itu pertunjukan wayang orang banyak dimanfaatkan oleh berbagai organisasi sosial tertentu. Mereka berusaha mengumpulkan dana sosial melalui pertunjukan teater tradisional tersebut.
Para penonton waktu itu berasal dan berbagai kalangan masyarakat. Masyarakat desa, kota, generasi muda, dan juga terutama generasi tua, berbondong-bondong menonton wayang orang. Oleh karena banyaknya peminat, tidak jarang mereka ini tidak mendapatkan karcis masuk atau terpaksa mendapatkannya lewat calo, walaupun harga karcis wayang orang pada waktu itu sangat tinggi, yaitu empat kali lipat dari harga karcis untuk pertunjukan bioskop.
Oleh sebab itu, para pendukung pertunjukan wayang orang ketika itu dapat dikatakan makmur hidupnya. Bagi mereka wayang orang saat itu tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan juga kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti rekreasi dan sebagainya.
Pada tahun 1965-1975 minat orang menonton pertunjukan wayang orang mulai menyusut. Beberapa organisasi wayang orang yang lahir pada tahun 1950-1965 banyak yang bangkrut dan tutup. Sejak saat itu harga karcis pertunjukan wayang orang tidak hanya tidak mampu melebihi pertunjukan bioskop, tetapi bahkan lebih rendah dari padanya. Organisasi organisasi sosialpun mulai tidak lagi dapat mengandalkan wayang orang sebagai alat pengumpul dana sosial.
Kelesuan wayang orang agak terobati dengan munculnya "Ngesti Pandowo" di Semarang. Dengan menampilkan beberapa inovasi, terutama dalam hal trick yang dapat membuat peristiwa-peristiwa ajaib menjadi nyata. Perkumpulan pimpinan Sastrosabdo ini mampu merebut perhatian penonton.
Akan tetapi sejak meninggalnya si pemimpin, Ngesti Pandowo pun mulai surut. Pada tahun 1983 Sastro Sudirjo, pimpinan Ngesti Pandowo yang baru, mengumurnkan pada masyarakat bahwa ia akan menjual gamelan perkumpulannya.
Minat masyarakat terhadap wayang orang ketika itu semakin lama semakin menyusut. Kecenderungan serupa itu terlihat pada daftar jumlah pengunjung wayang orang Sriwedari dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1981 pengunjung wayang orang di atas 2000 orang. Pada tahun 1982 pengunjung mulai menyusut. Dari dua belas bulan yang ada, lima bulan di antaranya hanya dikunjungi oleh sekitar 1500 orang.
Pada tahun 1983 pengunjung yang mencapai lebih dan 2000 orang hanya terjadi di bulan Desember. Tahun berikutnya pengunjung yang mencapai 2000 orang penonton hanya dua bulan dan yang mencapai 1000 orang hanya dua bulan pula, Pada delapan bulan pertama tahun 1985 penonton yang datang agak meningkat, yakni mencapai rata – rata 1500 orang perbulan.
Taman Sriwedari juga menyelenggarakan semacam pasar malam selama sekitar satu bulan setiap tahun. Pada waktu serupa itu jumlah penonton wayang orang biasanya agak meningkat.

Tidak ada komentar: